Kamis, 23 Maret 2017

JILBAB DAN ARISTOKRAT MUSLIMAH ARAB SAUDI

Salah satu yang paling ditunggu dari kunjungan Raja Salman ke Indonesia pekan lalu adalah seputar para perempuan aristokratnya. Selama Raja Salman di Jakarta, media massa memang tidak memberitakan keberadaan mereka.

Padahal merekalah yang tengah ditunggu banyak orang. Buktinya, jika kita perhatikan, publik sedemikian dihebohkan atas beredarnya foto Ginni Kapoor, artis India, yang dianggap salah satu putri kerajaan.

Publik kembali kecewa. Beberapa hari saat Raja Salman di Pulau Dewata, tiba-tiba viral foto “putri” Kerajaan Arab berpakaian adat Bali. Belakangan terklarifikasi bahwa “putri” tersebut adalah salah satu pramugari rombongan Raja Salman, bukan anggota keluarga kerajaan.

Membuncahnya penasaran atas perempuan kerajaan tidak bisa dilepaskan dari kuatnya Saudi Arabia sebagai patron Muslim di Indonesia. Ratusan juta orang membaca teks Arab dan menghadapkan wajahnya ke negara ini 5 kali sehari selama hidup. Ini memahat psikologi umat untuk merasa terus tersubordinasi dengan hal-hal berbau Arab. Saya masih ingat ada ustaz pesantren yang bilang: dunia ini hanya diisi dua ras; Arab dan non-Arab (‘ajam). Dan kita tahu siapa yang dianggap lebih unggul olehnya.

Perempuan Kerajaan Arab Laksana Imam Mahdi
Publik begitu menanti kilasan sosok mereka, terutama untuk menggenapi ekspektasi ideal muslimah dari patron mereka. Pandaikah mereka? Cantikkah mereka? Dan yang paling penting, bagaimana mereka akan membusanai tubuhnya; apakah mereka memakai cadar, niqab, chadour, atau jilbab?

Di Indonesia, jilbab dipercaya lebih dari sekadar busana. Ia identik dengan Islam itu sendiri, meskipun sebenarnya ia ada di banyak agama dan tradisi. Apalagi, seiring mengerasnya praktik intoleransi berbasis agama, jilbab pun ikut-ikutan dijadikan senjata merestriksi alias membatasi kemerdekaan perempuan dalam berbusana.

Di salah satu SMP Negeri Indragiri Hulu Riau, misalnya, dua siswi non-Muslim dipaksa kepala sekolahnya memakai jilbab. Sebaliknya, di Jombang, karyawati supermarket Borobudur l diminta mencopotnya saat kerja. Di Sumenep, rombongan turis luar negeri diusir takmir saat melakukan kunjungan di sebuah masjid gara-gara tidak berbusana Islami. Jilbab di Banyuwangi telah menjadi elemen krusial dalam pembangunan wisata pantai bernuansa syariah.

Pendek kata, hampir semua Muslim Indonesia mengimani jilbab sebagai kewajiban. Perintah atas ini diyakini bersifat definitif, qur’anik, dan tidak bisa dikurang-tambahi seinci pun.

Jika demikian halnya, kenapa banyak perempuan Kerajaan Saudi, seperti Hassa binti Salman, Ameera al-Taweel, Basmah binti Saud, Misha’al binti Fahd, Sahar binti Abdullah, Maha binti Mohammed, dan Jawaher al-Saud kerap tampil tanpa Menolak jilbab?

Mimpi Buruk Asyiria

Melalui pergumulan intelektual dan benturan pengalaman, sangat mungkin perempuan aristokrat Arab mengetahui historisitas muasal penutup kepala bagi perempuan. Sekitar 12 abad Sebelum Masehi, para perempuan di kawasan Asyiria Tengah–kini melingkupi wilayah Irak, Turki dan Syiria–dipaksa hidup dengan regulasi ketat menyangkut jilbab.

Dalam Assyrian Law (Driver & Miles 1935), jilbab adalah simbol untuk membedakan kelas sosial perempuan. Saat itu, semua perempuan diwajibkan menutup kepalanya ketika berada di ruang publik, kecuali beberapa tipe perempuan: budak perempuan, anak perempuan dari budak, pelacur (harlot), gundik (concubine), dan pelacur bakti (hideous) yang tidak menikah. Mereka terlarang memakai jilbab.

Meski demikian, hukum tersebut mengatur: khusus para gundik, mereka boleh memakai penutup kepala hanya jika keluar rumah bersama sang nyonya (mistress).  Bagi laki-laki yang menghendaki gundiknya bisa memakai penutup kepala, ia wajib mengundang 5-6 tetangganya dan mendeklarasikan, “Perempuan ini telah menjadi istriku, bukan gundik lagi.” Perempuan Assyria juga terlarang menempelkan tangannya ke lelaki bukan saudaranya. Jika ketahuan, ia terancam denda berat dan dicambuk.

Nasib perempuan “kelas rendah” itu semakin tersudut manakala hukum Asyiria mewajibkan laki-laki terlibat dalam proyek pengawasan regulasi tersebut.

Dinyatakan, setiap laki-laki harus menangkap para perempuan kelas rendah ini jika ngotot menutup kepalanya, menggelandangnya ke gerbang kerajaan bersama saksi-saksi untuk dihukum. Sebagai upahnya, si laki-laki berhak mengambil busana perempuan itu.

Dan, bagi laki-laki yang menolak menjalankan pengawasan, ia akan dihukum: tangannya diikat kawat ke belakang, telinganya ditindik paksa, dan wajib menjalani kerja paksa sebulan di lingkungan kerajaan, sesudah dicambuk 50 kali.

Terhormat Absurd
Apakah dengan memakai jilbab,  perempuan Assyria menjadi lebih terhormat, mendapatkan kesetaraan hak sebagaimana laki-laki? Saya meragukan itu.

Mereka yang berstatus istri tidak punya hak memilik harta bersama. Jika ia mengambil barang di rumahnya sendiri, ia terancam diiris kupingnya. Perempuan yang telah menerima maskawin secara otomatis ikut menanggung kejahatan berat maupun ringan yang dilakukan suaminya, termasuk utang-utangnya, meskipun perempuan tersebut tidak tinggal di rumah suaminya.

Seandainya ada lelaki mengajak pergi perempuan untuk urusan bisnis, padahal ia tidak tahu perempuan itu telah menikah, maka lelaki tersebut wajib memberikan sejumlah uang kepada suami perempuan itu, setelah terlebih dahulu minta maaf secara deklaratif.

Bagi lelaki yang memilih tinggal bersama janda selama dua tahun tanpa ikatan perkawinan, maka janda tersebut otomatis menjadi istrinya, dan tidak boleh pergi. Lelaki juga bisa menceraikannya sewaktu-waktu tanpa berkewajiban memberikan “pesangon”. Mantan istrinya itu pergi dengan tangan hampa.

Penutup kepala adalah simbol kontrol laki-laki atas perempuan. Perempuan Asyiria diberi dua pilihan yang sama-sama mengenaskan: memakai jilbab dengan iming-iming kehormatan semua, atau hidup terstigma sebagai budak atau pelacur yang sangat rentan diperlakukan tidak manusiawi, meski punya sedikit kemerdekaaan atas tubuhnya.

Konteks Islam

Perlu diketahui, terkategorikannya status sosial perempuan saat itu merupakan konsekuensi dari melimpahnya jumlah perempuan yang didatangkan dari negara taklukan Assyria. Mereka dijadikan budak, pekerja seks, atau gundik.

Konteks yang kurang lebih sama terjadi pada sejarah pengenaan jilbab dalam Islam. Sejarawan klasik Islam, Ibn Sa’d (w. 845 M) dalam magnum opusnya, Tabaqat al-Kubra, menceritakan ayat jilbab –QS. 33:59–diturunkan untuk merespons hal yang sangat spesifik. Yakni, untuk menghindari pelecehan seksual (ta’arrud) yang kerap dilakukan preman-preman Madinah terhadap budak perempuan dan pelacur. Untuk menyelamatkan keluarga Nabi dan perempuan Islam, mereka diminta memakai penutup kepala sebagai pembeda agar tidak diganggu.

Selain jilbab, ada istilah yang cukup terkenal dalam Islam, yakni hijab. Mona Siddiqui, profesor studi Islam Universitas Edinburg, dalam Encyclopaedia of the al-Quran, menyatakan “hijab” diakomodir al-Qur’an sebanyak 7 kali. Kata ini punya arti “pemisah”, setidaknya dalam arti dua hal.

Pertama, secara fisik/konkrit, misalnya tirai atau kelambu, seperti QS. 19:17. Dalam pewahyuan QS. 33:53,  kala itu Nabi Muhammad diceritakan tengah melangsungkan perkawinannya dengan Zaynab binti Jahsy. Meski telah larut, para undangan tidak kunjung pamit. Lalu turunlah ayat tersebut, yang intinya meminta para tamu berbicara di balik tirai pemisah ruang pribadi dan tempat pesta, jika mereka membutuhkan sesuatu.

Kedua, hijab dalam makna metaforik bernuansa negatif, misalnya terkait ketidakmampuan seseorang menerima ajaran Nabi Muhammad seperti kata al-Tabari (w. 923 M) saat membincang pewahyuan QS. 5:41. Orang yang hatinya kotor, dalam konteks asketisme (sufi),  kerap disebut “mahjub”, terhalangi dari pancaran ilahi.

Baik hijab maupun jilbab, dalam al-Qur’an, tidak membincang segregasi berbasis jenis kelamin. Entah bagaimana ceritanya, dua kata tersebut berevolusi sedemikian jauh dan berimplikasi serius terhadap perempuan Islam. Namun, kita patut mencurigai evolusi Islam misoginis mengalami konsolidasi setelah Nabi wafat.

Saat imperium Islam berkembang melalui ekspansi militer, terutama era Umayyah dan Abbasiyah, kutukan Assyria kembali berulang: perempuan non-Muslim dipasok dari negera taklukan untuk menjadi budak (seks). Sedangkan perempuan Islam dikandangkan sedemikian rupa di arena domestik agar tidak mengganggu laki-laki yang tengah “menentramkan” gejolak syahwati. Dan, boleh percaya atau tidak, lagi-lagi jilbab digunakan sebagai instrumen kontrol pejoratif untuk itu.

Oleh para agamawan kala itu, tubuh perempuan diyakini sebagai sumber kekacauan kosmos, yang oleh karenanya harus ditutupi. Intelegensia dan psikologi perempuan pun tak luput dari kurungan streotip. Ibn Qayyim al-Jawzi (w. 1350 M) secara meyakinkan telah membakukan potret “ideal” perempuan Islam dalam Kitab Ahkam al-Nisa. Dalam kitab tersebut, Jawzy memberikan aturan detail; dari sunat perempuan, urusan ranjang, hingga berbusana.

Saat marak kekerasan seksual terhadap perempuan tidak berjilbab di Sydney pada 2006 lalu, seorang tokoh Islam lokal kelahiran Mesir, Tajuddin al-Hilaly, mengumandangkan sikap mencengangkan di sebuah pengajian. Sebagaimana dilansir The Guardian  (https://www.theguardian.com/world/2006/oct/26/australia.marktran ), dia menyamakan perempuan tidak berjilbab layaknya daging tak terbungkus yang pantas dimakan kucing. “If you take out uncovered meat and place it outside on the street, or in the garden or in the park, or in the backyard without a cover, and the cats come and eat it … whose fault is it, the cats or the uncovered meat?” ujarnya.

Di sisi lain, kuatnya cengkeraman teks Islam atas perempuan membuat Jamal al-Banna menerbitkan buku The Cleansing of Bukhari and Muslim from Useless Hadiths (2008). Adik Hasan al-Banna, pendiri Ikhwan al-Muslimin, ini menuding ada  653 hadits problematis di dua kitab hadits kanonik Sunni tersebut, termasuk yang memandang rendah perempuan.


Jalan Terjal Sukayna

Keengganan para perempuan Kerajaan Saudi menutup kepala bisa dimaknai sebagai pekik perlawanan atas represivitas historik-stigmatif jilbab–sebagaimana yang menimpa perempuan ribuan tahun silam, bahkan hingga sekarang.

Mereka tampak ingin membalik sejarah kelam, setidaknya untuk diri mereka sendiri bahwa aristokrasi bermakna keberanian menolak kekangan patriarkal dalam berbusana. Muslimah tetap bisa terhormat, meski tidak berhijab.

Perjuangan mereka tentu tidak mudah, setidaknya bagi 4 perempuan keponakan Raja Salman, anak dari Raja Abdullah: princess Sahar (42), Jawaher (38), Maha (41), dan princess Hala (39).

Keempatnya, menurut The Washington Post  (https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2015/01/23/dont-forget-the-late-saudi-kings-jailed-princesses/?utm_term=.fd63986f2ff7), ditahan keluarga kerajaan di sebuah tempat di Jeddah selama lebih dari 8 tahun. Gara-gara, elite kerajaan merasa gerah karena mereka “tidak bisa diatur”, kerap memprotes kerajaan karena merepresi hak-hak perempuan. Ibu mereka, Alanoud al-Fayez, bahkan dikabarkan sempat meminta tolong Presiden Obama untuk mengintervensi penahanan ini.

Para perempuan aristokrat tersebut sejatinya bisa dikatakan tengah menapaktilasi jalan terjal moyang perempuan mereka, yang sejarahnya ditenggelamkan dunia patriarkhal.

Moyang itu bernama Sayyidah Sukayna bint Husayn bin Ali, cicit Nabi Muhammad. Perempuan ini tidak hanya pandai bernyanyi dan berpuisi, tapi juga jago berdebat. Sukayna dijuluki “Barza”, yakni perempuan pilih tanding yang dikenal memiliki intelektualitas tinggi dan bisa disowani laki-laki untuk kepentingan konsultasi (Mernissi, 1992).

Yang menarik, seorang barza dikenal tidak mengenakan penutup kepala, bahkan saat ke luar rumah. Wajahnya tidak disembunyikan, kepalanya pun ogah ditundukkan–sebagaimana halnya perempuan aristokrat di lingkungan Kerajaan Saudi.

So, bagaimana dengan jilbab Anda sendiri?

Sabtu, 18 Maret 2017

PENTINGNYA BERMAZHAB

Akhir2 ini umat muslim dibingunkan dengan serangan takfir yg dilancarkan oleh saudara2 seiman mereka sendiri. Serangan tersebut begitu masifnya, sehingga tidak jarang menimbulkan pertikaian pisik. Pertikaian pisik terjadi akibat ketidakmampuan salah satu dianatara dua pihak untuk menemukan legitimasi atas pendapat yg dipegangnya selama ini. Maka dari itu, berikut kami cntumkan artikel yg kiranya bisa menjadi rujukan bagi umat muslim yg selama ini terdzalimi dengan tuduhan2 kafir. https://kabarislamia.com/2015/04/09/kenapa-imam-mazhab-tidak-pakai-hadits-bukhari-dan-muslim/

Selasa, 28 Februari 2017

PEMIMPIN NON MUSLIM

Rangkuman penjelasan Nadirsyah Hosen soal
Memilih Pemimpin Non-Muslim
Bismillahirrahmanirrahim. Saya rangkum di bawah ini sejumlah tulisan, audio dan video mengenai masalah ini agar bisa disimak sepenuhnya.
1. Tafsir kata Awliya dan asbabun nuzul dalam QS al-Maidah:51 menurut 10 kitab tafsir: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/awliya/isi.html
2. Penjelasan lengkap kisah Umar Bin Khattab yang mengusir sekretaris Abu Musa al-Asy'ari dari Madinah: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/253-bagaimana-memahami-kisah-umar-bin-khattab-dan-abu-musa-al-asy-ari
3. Benarkah kalau menjadikan teman setia saja tidak boleh apalagi menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin? Simak penjelasannya di sini: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/254-logika-dan-illat-hukum
4. Apa persyaratan menjadi Khalifah? Simak penjelasan saya di sini: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/73-tiga-ulama-klasik-apa-syarat-menjadi-pemimpin
5. Penjelasan mengenai keputusan Muktamar Lirboyo tentang memilih anggota DPR/MPR yang non-Muslim: https://chirpstory.com/li/346262
6. Syekh Ali Gomaa membolehkan non-Muslim jadi pemimpin: https://mobile.twitter.com/na_dirs/status/781433324887678976
7. Penjelasan kenapa Depag pernah menerjemahkan awliya dalam QS al-Maidah:51 sebagai pemimpin dan kemudian merevisinya di edisi terbaru: https://chirpstory.com/li/333681
8. Qur'an terjemah Depag cetakan Saudi ternyata QS al-Nisa: 139 tidak diartikan sebaga pemimpin: https://mobile.twitter.com/na_dirs/status/835635236251688962
9. Tafsir kata awliya dalam QS al-Nisa: 138-139 dalam 10 kitab tafsir juga bukan sebagai pemimpin dan karenanya memilih pemimpin non-Muslim tidak masuk ciri orang munafik: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-nisa-138-139-bukan-mengenai-pilkada
10. Simak penjelasan saya bahwa kita jangan mudah menganggap orang lain munafik: http://www.nu.or.id/post/read/75551/Jangan-Mudah-Menganggap-Orang-Lain-Munafik
11. Wawancara saya dalam bahasa Inggris terkait masalah Ahok, Agama dan Pilkada: http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/talking-indonesia-ahok-race-religion-and-democracy/
12. Klarifikasi saya soal cuitan buih aksi 212: http://nadirhosen.net/kehidupan/ummat/klarifikasi-nadirsyah-hosen-soal-buih
13. Kita sebaiknya membela al-Qur'an dengan akhlak mulia sesuai panduan Imam al-Ghazali: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/membela-al-quran-dengan-akhlak-mulia
14. Apa panduan al-Qur'an untuk menyikapi mereka yang menghina al-Qur'an: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/apa-sikap-kita-terhadap-mereka-yang-melecehkan-ayat-allah
15. Beredar kisah Nabi mengeksekusi Abi Sarah penghina al-Qur'an. Kisahnya ternyata dipotong. Ini kisah lengkapnya: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/278-benarkah-nabi-mengeksekusi-abi-sarah-penghina-al-qur-an
16. Allah melarang kita memaki sesembahan orang kafir: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/perintah-ilahi-jangan-memaki-sesembahan-mereka
17. Jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang atau etnik-agama tertentu membuat kita tidak berlaku adil: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/benci-tapi-tetap-berlaku-adil-pesan-langit
18. Penjelasan dari sudut ilmu fiqh dan balaghah bahwa KH Ma'ruf Amin tidak bersaksi palsu di persidangan Ahok: http://nadirhosen.net/tsaqofah/filsafat/kiai-maruf-amin-sang-ahli-fiqh
19. Joke tentang orang yang gila Pilkada: http://nadirhosen.net/renungan/santai/gila-pilkada
20. Syariat Islam di tangan politisi sering bermasalah: http://www.nu.or.id/post/read/71354/syariat-islam-dan-politisi
21. Indonesia sedang diadu domba pihak luar lewat kasus Ahok: http://nadirhosen.net/kehidupan/negara/indonesia-diadu-domba-janganterpancing
22. Mari kita menolak kejahatan dengan kasih sayang: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/268-menolak-kejahatan-dengan-cara-yang-lebih-baik
23. Para ulama klasik pun pusing menghadapi orang ngeyel: http://nadirhosen.net/kehidupan/ummat/269-menghadapi-orang-ngeyel
24. Rangkaian ayat Awliya dipungkasi dg QS al-Mumtahanah:1. Maknanya jg BUKAN pemimpin. Penjelasan tu

Rabu, 25 Januari 2017

JIKA ALQURAN DIHINA

Nadirsyah Hosen Apa sikap kita terhadap mereka yang melecehkan ayat Allah? Tafsir QS al-An'am ayat 68-69 "Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka, tetapi (kewajiban mereka ialah) mengingatkan agar mereka bertakwa." Syekh Mutawalli al-Sya'rawi dalam kitab tafsirnya mengatakan: ‎أَنك إذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم وبيِّن لهم الجفوة فلا تقبل عليهم، ولا توادهم، ولا تستمع إليهم، ولا يسمع إليهم أصحابك "Apabila engkau [Nabi Muhammad] mendapati orang yang melecehkan ayat-ayat Kami, tinggalkan mereka, jangan jalin persahabatan dengan mereka, jangan dengarkan pelecehan yang mereka sampaikan, dan jangan pula para sahabatmu ikut mendengarkan mereka." Begitulah petunjuk al-Qur'an. Kalau ada yang menghina ayat Allah, jangan dengarkan, berpalinglah dan tinggalkan mereka. Itu saja. Tafsir al-Munir karya Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan: ‎فإن تجنبوا مجالسة الخائضين، فلا يحاسبون على خوضهم، وبرئوا من عهدتهم، وتخلصوا من إثمهم. وقال آخرون (مجاهد والسدي وابن جريج) : بل معناه: وإن جلسوا معهم، فليس عليهم من حسابهم من شيء، وزعموا أن هذا منسوخ بآية النساء المدنية وهي قوله: إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ [٤/ ١٤٠] Sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka. (Al-An'am: 69) Yakni tidak ada dosa perbuatan memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang dilakukan mereka, apabila kamu meninggalkan mereka dan berpaling dari mereka. Tetapi menurut ulama yang lain, makna ayat ialah sekalipun orang-orang yang bertakwa duduk bersama mereka yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah, maka orang-orang yang bertakwa itu tetap tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun terhadap dosa mereka. Ulama yang berpendapat demikian (Mujahid, al-Suddy, dan Ibn Juraih) menduga bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat surat An-Nisa yang Madaniyyah: QS al-Nisa ayat 140: Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur'an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam. Ayat dalam surat al-An'am:68-69 di atas turun di Mekkah di saat umat Islam dalam kondisi lemah, dan karenanya dituntut untuk berpaling dari mereka yang melecehkan al-Qur'an, dan tidak mengapa kalau lupa duduk satu majelis dengan para penista al-Qur'an karena umat Islam tidak menanggung dosa para penista tersebut, namun dalam surat al-Nisa yang turun di Madinah di saat umat Islam sudah dalam posisi kuat maka diminta memutuskan hubungan sama sekali dengan penista al-Qur'an agar tidak serupa dengan mereka. Seolah ayat al-Nisa:140 yang dianggap oleh sebagian ulama me-nasakh al-An'am:69 itu bermaksud mengatakan kalau kamu duduk bersama mereka seakan-akan kamu menyetujui pelecehan yang mereka lakukan terhadap ayat AllahBuat mayoritas ulama yang tidak menganggap telah terjadi nasikh-mansukh dalam kedua ayat di atas, maka tidak ada pertentangan dalam kedua ayat tersebut. Pesan utamanya tetap sama: tinggalkan perbincangan mereka yang melecehkan ayat Allah. Apapun pendapat yang kita pilih --apakah terjadi nasikh-mansukh atau tidak-- satu hal yang jelas: kita hanya diminta oleh Al-Qur'an untuk meninggalkan majelis, forum, atau acara dimana ayat Allah dilecehkan. Tidak lebih dari itu. Tidak ada perintah untuk membunuh para penista al-Qur'an, sebagaimana teriakan sebagian pihak yang bersurban dan bergamis di jalan raya. Mari kita kembali kepada petunjuk al-Qur'an jikalau kita memang hendak membela al-Qur'an dari para penistanya. Catatan penting: petunjuk ayat di atas berlaku jika memang terjadi penistaan atau pelecehan terhadap ayat Allah. Jikalau masih terjadi keraguan benarkah terjadi penistaan terhadap ayat Allah, tentu lebih baik kita kedepankan tabayun terlebih dahulu agar jangan sampai kita menimpakan kemudaratan kepada mereka yang tidak berniat dan tidak bermaksud menistakan al-Qur'an. Kita pun bisa jatuh pada kezaliman kalau demikian halnya. Redaksi ayat di atas mengindikasikan bahwa jikalau mereka tidak melecehkan al-Qur'an maka tidak mengapa kita duduk, bergaul, belajar bersama, atau melakukan kegiatan lainnya dengan orang-orang non Muslim. Kita bisa saling mengambil manfaat selama tidak melanggar aturan syari'at. Kalau petunjuk al-Qur'an yang ayatNya hendak kita bela sudah sedemikian lurus meminta kita hanya berpaling dari majelis yang melecehkan al-Qur'an, maka mengapa mereka yang katanya hendak membela al-Qur'an malah meminta yang justru tidak diminta al-Qur'an? Kadang ayat al-Qur'an terasa mengejutkan justru untuk mereka yang bermaksud membelanya. Subhanallah! Tabik, Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

INKLUSIFITAS DALAM ISLAM

Tafsir al-Hujurat ayat 13: Tak Kenal Maka Tak Sayang Imam Suyuthi dalam kitab Tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur Fi Tafsir Bil-Ma'tsur menyebutkan dua kisah turunnya surat al-Hujurat:13 ‎أخرج ابْن الْمُنْذر وَابْن أبي حَاتِم وَالْبَيْهَقِيّ فِي الدَّلَائِل عَن ابْن أبي مليكَة قَالَ: لما كَانَ يَوْم الْفَتْح رقي بِلَال فَأذن على الْكَعْبَة فَقَالَ بعض النَّاس: هَذَا العَبْد الْأسود يُؤذن على ظهر الْكَعْبَة وَقَالَ بَعضهم: إِن يسْخط الله هَذَا يُغَيِّرهُ فَنزلت {يَا أَيهَا النَّاس إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وَأُنْثَى} الْآيَة ‎وَأخرج ابْن الْمُنْذر عَن ابْن جريج وَابْن مرْدَوَيْه وَالْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه عَن الزُّهْرِيّ قَالَ: أَمر رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم بني بياضة أَن يزوّجوا أَبَا هِنْد امْرَأَة مِنْهُم فَقَالُوا: يَا رَسُول الله أتزوّج بناتنا موالينا فَأنْزل الله {يَا أَيهَا النَّاس إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وَأُنْثَى} Kisah pertama: pada saat Rasulullah memasuki kota Mekkah dalam peristiwa Fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas Ka'bah dan menyerukan azan. Maka sebagian penduduk Mekkah [yang tidak tahu bahwa di Madinah Bilal bin Rabah biasa menunaikan tugas menyerukan azan] terkaget-kaget. Ada yang berkata: "Budak hitam inikah yang azan di atas Ka‘bah?” [dalam riwayat lain di kitab Tafsir al-Baghawi al-Harits bin Hisyam mengejek dengan mengatakan: "Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?"] Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat. Kisah kedua: Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: "Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?" Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat. Inilah ayat yang tengah kita bahas: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal Pesan langit ini begitu universal; ia menghapus "kasta" dalam masyarakat Arab; menegaskan kembali bahwa sebagai hamba Allah bukan nasab, harta, bentuk rupa atau status pekerjaan yang menentukan keutamaan hamba Allah, tetapi ketakwaan. Dan ketakwaan itu tidak bisa dibeli atau diraih dengan mengandalkan keutamaan nasab, suku atau marga, tapi dengan amal shalih. Sayang belakangan ini malah banyak yang hendak mengembalikan "kasta" masyarakat Arab yang sudah dihapus Nabi ini. ‎أخرج مسلم وابن ماجه عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه قال: قال رسول اللَّه صلّى اللَّه عليه وسلّم: «إن اللَّه لا ينظر إلى صوركم وأموالكم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم» Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: "Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian" Anda punya nasab yang bagus, alhamdulillah. Anda kemana-mana memakai surban, alhamdulillah. Tapi kalau amal anda jelek dan akhlak anda buruk, maka ingatlah dengan ayat di atas: bekas budak hitam legam seperti Bilal bin Rabah pun bisa jadi jauh lebih mulia. Semoga putihnya surban dan gamis kita itu juga seputih hati dan perbuatan kita. Amin Ya Allah Potongan ayat di atas juga sangat 'modern' sekali: diciptakanNya kita berbeda suku bangsa untuk "saling mengenal". Apa maksudnya? Keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau anda hanya lahir di suku anda saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang di sekitar anda saja, maka sikap dan tindak-tanduk anda seperti katak di dalam tempurung. Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim ibu yang beragama apa, atau keturunan siapa atau tinggal dimana. Keragaman tidak dimaksudkan untuk saling meneror, memaksa atau membunuh. Al-Qur'an mengenlkan konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk kita saling mengenal satu sama lain. Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara kita maka kita akan lebih toleran; kita mendapat kesempatan belajar satu sama lain. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita. Saya bilang di atas ayat ini sangat 'modern' karena misalnya di Australia saja ada penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang anti terhadap Muslim ternyata mereka tidak pernah bergaul akrab dengan orang Islam. Artinya, mereka yang mengenal orang Islam di lingkungannya tinggal, di sekolah atau di tempat kerja akan cenderung lebih toleran terhadap perbedaan. Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita "saling mengenal" seperti pesan al-Qur'an terhadap pihak lain yang berbeda dengan kita? Bisakah kita menghargai dan belajar dari mereka yang selama ini kita benci? Dalam bentuknya yang 'modern' ayat di atas bisa dilihat dalam konteks teori psikologi dan sosiologi. Al-Qur'an menggunakan bentuk tafa'ala dalam redaksi lita'arafuu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya Lil Musyaarakati baina itsnaini fa aktsara. Tidak cukup interaksi anda itu hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal anda. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau anda meminta orang lain memahami anda, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan al-Qur'an: saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang. Di medsos pun seperti itu, banyak yang komentar sembarangan dan seenaknya karena merasa yang dihadapinya hanya layar hp atau komputer yang benda mati dan tidak berperasaan. Bagaimana hendak saling mengenal, kalau sengaja memakai akun anonim? Mereka lupa, medsos ini sesuai namanya --media sosial-- adalah juga salah satu sarana kita untuk "saling mengenal" bukan "saling mencaci-maki". Yuk mari kita saling mengenal Tabik, Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Kamis, 19 Januari 2017

ASAL USUL KATA "ALLAH"

Sumanto al-Qurtubi Sejarah dan Asal-Usul Kata "Allah" 1 Apakah kata "Allah" sebagai nama Tuhan itu hanya digunakan oleh umat Islam saja? Jawabnya jelas: tidak. Berbagai kajian kesejarahan dan arkeologi menunjukkan bahwa kata "Allah" ini sudah ada jauh sebelum Islam lahir pada abad ketujuh di Makah, dan dipakai sebagai nama Tuhan oleh berbagai kelompok agama (baik monoteis maupun politeis) di Arab dan Timur Tengah kala itu. Ada banyak nama untuk menyebut "Tuhan" dalam tradisi masyarakat Arab waktu itu, termasuk "Allah" ini. Hingga kini, selain umat Islam, nama "Allah" juga dipakai untuk menyebut "Tuhan" oleh sejumlah kelompok agama seperti umat Kristen Arab (Koptik, Maronite, Melkite, dlsb), Babisme (di Persi/Iran), umat Kristen Malta, dan Yahudi Mizrahi atau Mizrahim (Bahasa Arab: al-Masyriqiyyun), yaitu umat Yahudi "asli" Timur Tengah sejak era biblikal sampai sekarang. Ada sejumlah perbedaan pendapat mengenai asal-usul kata "Allah" ini yang dikemukakan oleh para sejarawan dan filolog (baca, ahli Bahasa Arab klasik). Ada yang menganggap bahwa kata "Allah" itu spontanitas saja (murtajal) diucapkan oleh masyarakat Arab, ada pula yang menganggap dari kata "lah" yang berarti "agung" dan "tersembunyi". Tetapi mayoritas berargumen bahwa kata "Allah" dalam Bahasa Arab itu merupakan bentuk kepadatan dari kata "al" (seperti "the" dalam Bahasa Inggris) dan "ilah" (Tuhan). Jadi, kata "Allah" itu artinya "the God" atau "Tuhan yang itu". Menariknya, kata yang kurang lebih sama dengan kata "Allah" ini juga ditemui dalam bahasa-bahasa rumpun Semitik lain yang jauh lebih tua daripada Bahasa Arab, seperti Bahasa Aram dan Hebrew. Dalam Bahasa Aram, misalnya, kata "Allah" ini ditulis "Elah", "Elaha", atau "Alaha" dalam Bahasa Aram dialek Syriac yang digunakan oleh Gereja Assyria di Timur Tengah, yang artinya simpel: Tuhan. Masyarakat Assyria itu kini tersebar di Suriah, Irak, Iran, dan Turki. Dalam Hebrew Bible, Tuhan juga disebut sebagai "Eloah" (singular), Elohim (plural), juga El. Jadi, jelasnya, masyarakat Arab yang Yahudi dan Kristen waktu itu (maupun masyarakat Arab non-Yahudi dan Kristen) juga menyebut "Allah" untuk menyebut "Tuhan" karena itu tidak heran jika umat Arab Kristen dan Yahudi hingga kini menyebut nama Tuhan dengan sebutan "Allah". Ada banyak bukti akademik-ilmiah bahwa nama "Allah" itu sudah biasa digunakan oleh masyarakat Arab (apapun agama mereka, termasuk Kristen dan Yahudi sebagai sesama rumpun agama Semit) untuk menyebut nama Tuhan. Orang-orang Arab dulu, zaman sebelum Islam, banyak sekali yang menggunakan nama Abdullah (Hamba Allah). Bukankah ayah Nabi Muhammad sendiri yang wafat sebelum beliau lahir juga bernama Abdullah? Bukti-bukti arkeologis gereja-gereja dan kuburan tua pra-Islam di Yaman dan Yordania misalnya (seperti di Umm al-Jimal di Yordania Utara) juga ditemukan berbagai inskripsi bertuliskan "Allah". Pada era kerajaan Himyar dan Aksum juga banyak dijumpai nama-nama Kristen yang menggunakan nama "Abdullah". Seorang jenderal Kristen bernama Abdullah bin Abu Bakar yang wafat di Najran, Arabia, pada 523 M, juga terungkap mengenakan cincin bertuliskan "Allahu rabbi" (Allah adalah Tuhanku) (bersambung). Jadi, kalau ada umat non-Muslim di Indonesia menggunakan kata "Allah" atau menyebut nama "Allah" tidak usah baper dan ngamuk-ngamuk ya? Nanti diketawain sama umat Arab Kristen lo he he -------------------------------- Sejarah dan Asal-Usul Kata Allah 2 Seperti saya jelaskan sebelumnya kata "Allah" sudah dikenal di kawasan Arab, khususnya Jazirah Arab dimana Islam lahir, jauh sebelum Nabi Muhammad memperkenalkan agama ini pada abad ke-7 M. Ada banyak bukti otentik tentang ini. Misalnya, banyak masyarakat Arab pra-Islam dulu, termasuk ayah Nabi Muhammad sendiri, yang bernama "Abdullah" (Hamba Allah). Orang-orang Arab Kristen awal, seperti ditunjukkan dalam studi Ibnu Ishaq (w. 768), seorang sejarawan Muslim kenamaan dalam karya monumentalnya "Sirah Nabawiyah", juga banyak yang benama Abdullah. Ekskavasi arkeologis atas reruntuhan situs-situs Arab Kristen pra-Islam (gereja, kuburan, martyrion, dlsb) di Jabal Ramm dan Umm al-Jimal di Yordania maupun di Yaman semasa Kerajaan Askum dan Himyar juga bayak ditemui inskripsi dan nisan para martir (syuhada) Arab Kristen yang bernama "Abdullah". Masyarakat Kristen Arab dulu pada zaman Imperium Partha, Romawi, Byzantium, dlsb di era pra-Islam banyak yang menjadi martir. Selain nama-nama "Abdullah", juga ditemui inskripsi di situs-situs Arab Kristen pra-Islam tulisan "Allah" atau "Alaha" (Aram) dan "Bismillah". Bagi yang terarik ingin mendalami informasi ini, bisa dibaca beberapa karya dari para ahli kajian Arab klasik seperti Rick Brown, James Bellamy, Enno Littman, Beatrice Gruendler, dlsb. Irfan Syahid dalam bukunya, "Byzantium and the Arabs in the Fourth century" juga menyebutkan pada waktu perang, kaum Arab Kristen memekikkan kalimat-kalimat seperti Allahu Akbar" atau "Ya La Ibadu Allah". Kata "Allah" juga disebut dalam syair atau puisi-puisi Arab Kristen dulu seperti ditulis oleh al-Marzubani dalam "Mu'jam al-Syu'araa". Sya'ir-sya'ir ini ditulis oleh orang-orang Arab Kristen dari suku Bani Ghassan (al-Ghasasinah) dan Tanukh (Tanukhiyun) yang merupakan suku-suku Arab awal yang memeluk Kristen. Lalu, dari mana asal-usul kata dan nama "Allah" sebagai Tuhan itu? Ada sejumlah teori tentang ini. Ada yang bilang bahwa nama Allah itu diperkenalan oleh orang-orang Arab Kristen dan Arab Yahudi. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Allah juga disebut-sebut sebagai salah satu Tuhan kaum Arab politeis pra-Islam (silakan baca "Kitab al-Asnam" karya sejarawan Hisyam al-Kalbi, w. 819). Konon nama "Allah" digunakan untuk menyebut "Tuhan Sang Pencipta" yang juga merangkap sebagai "pemimpin dewa-dewi" (atau katakanah "The Supreme God") menggantikan posisi "Hubal". Hubal adalah "Dewa Bulan" yang superior di zaman pra-Islam. Konon nama "Hubal" ini diadopsi dari masyarakat Arab Nabataea yang mendiami kawasan Arabia utara (termasuk Suriah dan Irak). Masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat politeis yang "menyembah" banyak dewa-dewi (konon ada ratusan). Latta, Uzza, dan Manat adalah tiga dewi ("Tuhan perempuan" yang populer. Nah, Hubal ini dianggap sebagai "Ra'is Syuriyah" atau "Imam Besar" dewa-dewi ini. Patung para dewa dan dewi ini ada di sekitar Ka'bah. Masyarakat Arab Quraisy (yang juga suku Nabi Muhammad) adalah yang mengontrol akses terhadap Hubal ini. Menariknya, dulu para pemuja Hubal juga ikut berperang melawan Nabi Muhammad pada waktu Perang Badar tahun 624. Setelah Nabi Muhammad berhasil menguasai Makah pada tahun 630, beliau dan pengikutnya menghancurkan patung-patung itu, dan mendeklarasikan Allah sebagai Tuhan. Apakah ada hubungannya antara penggantian atau "pencopotan" Hubal dengan Allah itu lantaran para pendukung dan pemuja Hubal yang memusuhi dan memerangi Nabi? Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, tidak seperti Hubal dan "Tuhan-Tuhan" lain yang "diwujudkan" atau disimbolkan dalam arca-arca, menariknya, Tuhan Allah, setahu saya, tidak pernah dipatungkan (bersambung).

KOMUNISME DI TIMUR TENGAH

Sumanto Al Qurtuby Komunisme di Timur Tengah Komunisme (dari Bahasa Latin: "communis" yang berarti "umum, bersama, universal") adalah sebuah filosofi dan ideologi sosial-politik-ekonomi yang bertujuan menciptakan sebuah "masyarakat komunis," yakni sebuah masyarakat yang berbasis pada sistem, struktur dan tatanan sosial-politik-ekonomi yang egaliter dan tanpa kelas. Dalam perkembangannya ada berbagai mazhab komunisme seperti Marxisme, Leninisme, Anarkhisme, dlsb. Para sarjana dan sejarawan berselisih pendapat tentang asal-usul komunisme. Karl Marx berpendapat, komunisme sudah ada sejak dahulu kala dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok suku hunters dan gatherers (hunting-gathering society atau "foraging society"). Marx menyebut mereka sebagai "masyarakat komunis primitif" karena pola hidup mereka, meskipun simpel, bertumpu pada azas egalitarianisme dan kolektivisme atau komunalisme. Ada pula sarjana (seperti Richard Pipes) yang mengatakan asal-usul komunisme itu dari Yunani Kuno. Yang lain menyebut komunisme berasal dari Gerakan Mazdak di Persi pada abad ke-5 M. Apapun sejarah asal-usulnya, yang jelas, secara konseptual, komunisme itu tidak ada hubungannya dengan ateisme yang selama ini disalahpahami oleh banyak pihak. Bahwa ada orang komunis yang ateis memang iyyess tetapi tidak semua pendukung komunisme itu ateis. Banyak dari mereka yang berasal dari kelompok agama alias "kaum teis". Sebagai sebuah filosofi, ideologi, dan gerakan sosial-politik-ekonomi, komunisme bersifat lintas-agama, lintas-etnis, dan lintas-suku bangsa. Itulah sebabnya di "Indonesia" dulu, ada sejumlah tokoh Muslim yang menjadi pendukung komunisme. Yang paling populer adalah Haji Muhammad Misbach (w. 1926) dari Surakarta yang dijuluki "Haji Merah". Beliau dulu getol mengkampanyekan komunisme dan organisasi komunis sebagai medium perlawanan terhadap Belanda sehingga ia dibuang atau diasingkan oleh pemerintah Belanda. Haji Misbach yang juga anggota Sarekat Islam itu juga getol berdakwah tentang relevansi Islam dan komunisme. Tokoh Muslim lain yang komunis-sosialis adalah Tan Malaka alias Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka yang sangat cerdas sekali. Di Timur Tengah, komunisme berkembang sejak 1920an setelah Revolusi Bolshevik tahun 1917 yang dipimpin oleh Vladimir Lenin yang berhasil menumbangkan kekuasaan para Tsar dan menandai berdirinya Uni Soviet. Pendukung komunisme di Timur Tengah berasal dari berbagai agama dan etnis: Yahudi, Kristen, Muslim, Arab, Kurdi, Persi, Azeri, Armenia, dlsb. Komunisme tersebar di berbagai negara: Mesir, Irak, Iran, Suriah, Palestina, Libanon, Yordania, Maroko, Ajazair, dlsb. Beberapa tokoh beken Timur Tengah pendukung komunisme kala itu termasuk Husain al-Rahhal (tokoh Marxist Irak pertama), Joseph Rosenthal (Yahudi kelahiran Palestina tapi aktif di Mesir), Mahmud Husni al-Urabi (tokoh Muslim), Anton Marun (tokoh Kristen Koptik), Radwan al-Hilu yang kemudian menjadi Sekjen Partai Komunis Palestina. Tokoh lain adalah Fu'ad al-Shamali dan Yusuf Yazbak (keduanya tokoh partai komunis di Libanon), Emile Habibie, Bulus Farah, Mukhlish Amr, dan masih banyak lagi. Bagaimana kisah perjuangan mereka mengkampanyekan komunisme di Timur Tengah, dan bagaimana peran Amerika Serikat untuk menggembosi pengaruh komunisme di Timur Tengah guna melapangkan jalan kapitalisme? Bersambung aja deh karena maap sebagai TKI merangkap propesi tukang becak, saya juga perlu kerja banting-tulang mencari uang. Nulis di Pesbuk kan gratis. Sudah gratis, ada yang ngomel-ngomel lagi he he ----------------------------------- Komunisme Itu Beda Dengan Ateisme Bro Ini lanjutan kuliah virtualku kemarin yang berjudul "Komunisme di Timur Tengah". Mumpung masih ingat, saya tulis saja sekarang. Bagi yang belum sempat baca postinganku kemarin, silakan dibaca dulu supaya kalau mau komen disini agak nyambung dan "ilmiah" dikit, tidak asal njeplak kayak preman Terminal Pulo Gadung he he. Seperti saya jelaskan sebelumnya, sebagai sebuah konsep, filosofi, dan sistem, komunisme itu jauh berbeda dengan ateisme. Tidak seperti ateisme yang "ngurusi" masalah agama-kepercayaan orang (kapan-kapan saya bahas tentang teisme dan ateisme ini), komunisme lebih pada urusan sosial-politik dan ekonomi. Jadi menganggap komunisme = ateisme itu tidak nyambung alias "Joko Sembung naik ojek" he he. Bahwa pada perkembangnnya kelak, ada orang-orang ateis yang bergabung di gerbong komunisme memang iyyess. Orang ateis mah ada dimana-mana atuh mang dan mpok, bukan monopoli komunisme aja. Kaum ateis ini ada yang menjadi pendukung sosialisme, kapitalisme, nasionalisme, dan isme-isme yang lain. Kaum ateis, baik yang ateis konservatif maupun ateis libertarian, juga banyak yang anti ideologi komunis (silakan baca buku-buku yang ditulis oleh Gary Marks, Seymour Lipset, Paul Buhle, Jeff Woods, dlsb). Bahwa ada komunis yang ateis bukan berarti komunis itu ateis, kan? (Hayooo paham gak dengan pernyataan ini? he he). Bahwa ada para simpatisan komunisme yang terlibat kekerasan dan kejahatan memang iyyess tetapi jangan, meminjam gaya omongan Pak Harto, "menyalahken atau mengkambinghitamken daripada komunisme"-nya sebagai sebuah filosofi, ideologi, gerakan, dan sistem sosial-politik-ekonomi. Soal kekerasan dan kejahatan mah dilakukan oleh pendukung ideologi apa saja atuh: kapitalisme, liberalisme, sekularisme, Islamisme, sosialisme, nasionalisme, pan-Arabisme, dlsb. Pada awal perkembangan ideologi "komunisme modern" di Eropa (saya sebut "komunisme modern" karena "ajaran" komunisme yang bertumpu pada doktrin egalitarianisme dan anti-hierarkhisme sudah dipraktekkan sejak zaman klasik oleh masyarakat "pre-modern") memang sejumlah tokoh sekularis dan ateis ikut berkontribusi dan kebetulan menjadi pioneer komunisme. Tetapi mereka sebetulnya bukan anti-teisme atau anti-agama melainkan anti terhadap perilaku sejumlah tokoh atau elit agama dan pemimpin politik di Eropa kala itu yang menjadikan agama semata-mata sebagai "topeng monyet" untuk mengelabui, membodohi, menipu, dan menindas masyarakat. Agama yang dijadikan sebagai instrumen pembodohan, ketidakadilan, dan penindasan inilah yang menjadi target kritisisme mereka. Dalam konteks inilah, Karl Marx bilang "agama adalah candu" karena agama, bagi Marx, bisa membuat pengikutnya menjadi "teler" alias "mabok" sehingga tidak bisa membedakan mana keadilan dan ketidakadilan, mana kebenaran hakiki dan mana kesalahan permanen, mana dosa dan mana pahala, dan seterusnya. Sudah tahu kalau korupsi adalah merusak moral tapi malah dihalalkan, sudah tahu kalau kekerasan adalah kejahatan atau tindakan kriminal tetapi malah diberi "justifikasi teologis", sudah paham kalau pengrusakan dan terorisme itu haram tapi malah "dilegalkan", sudah paham kalau intoleransi itu tindakan buruk tapi malah dibiarkan, sudah paham kalau banjir dan malapetaka alam lain itu produk dari keteledoran manusia tetapi malah berdoa minta Tuhan menyelesaikan banjir, dlsb. Kembali ke laptop (maap Mas Thukul). Karena memang tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme itulah maka kenapa banyak para pengikut agama dulu (Muslim, Kristen, Yahudi, dlsb) ikut menjadi pendukung komunisme. Di kawasan Arab dan Timur Tengah dulu, para pentolan Partai Komunis di Palestina, Mesir, Irak, Libanon, Iran, Yordania, Maroko, Aljazair, dlsb adalah para tokoh agama, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Beberapa di antara mereka seperti Mahmud Husni al-Urabi (pendiri partai komunis di Mesir) bahkan belajar komunisme langsung ke Moscow. Bersambung lagi aja yah, entar tambah bingung kalau kepanjangan postingannya.... -------------------------------- Komunisme di Arab dan Timur Tengah (3) Mumpung masih ingat, ini melanjutkan cerita tentang sejarah komunisme di Arab dan Timur Tengah. Lagi, bagi yang kentinggalan kelas, silakan "diubek-ubek" dulu postingan-postinganku sebelumnya. Saya sudah beberapa kali menulis tentang komunisme ini. Dalam konteks Arab dan Timur Tengah, munculnya gerakan komunisme (Bahasa Arab: "syayuiyyah") itu sudah terjadi sejak 1920-an, pasca Revolusi Bolshevik pimpinan Lenin tahun 1917 yang berhasil menggulingkan rezim Tsar yang menandai berdirinya Uni Soviet. Kini, Soviet sudah almarhum dan berkeping-keping menjadi puluhan negara. Russia sebagai "penerus" Soviet tidak lagi bisa disebut sebagai "rezim komunis" karena ada banyak perubahan fundamental yang terjadi disini menyangkut sistem politik-pemerintahan dan sosial-ekonomi (kapan-kapan saya ulas secara terpisah). Kembali ke laptop. Sejak awal, sejumlah tokoh, pemikir, dan aktivis Arab, Turki, Kurdi, Azeri, Yahudi, Persi, Armenia, dlsb, di kawasan Timur Tengah sudah kesengsem dengan komunisme. Mereka bukan hanya dari kalangan Muslim saja tetapi juga Kristen dan Yahudi. Di sejumlah kawasan seperti Palestina, Mesir, Irak, Libanon, dlsb, mereka berkoalisi mendirikan Partai Komunis di daerah masing-masing. Ada banyak sarjana yang sudah mengulas tentang asal-usul, sejarah dan perkembangan komunisme di Arab dan Timur Tengah ini. Kalau berminat, silakan baca karya-karya Tareq Ismael, Harold Cubert, Musa Budairi, Rifa'at El-Sa'id, Ilana Kaufman, Joel Beinin, Sami Hanna, SM Agwani, dan masih banyak lagi. Di antara mereka, Tareq Ismael yang paling spesial karena betul-betul spesialis di kajian komunisme dan sosialisme di Arab dan Timur Tengah yang telah menulis sejumlah buku penting seperti "The Communist Movement in the Arab World", "The Communist Movement in Syria and Lebanon", "The Arab Left", "The Communist Movement in Egypt," "The Sudanese Communist Party", dlsb. Embrio komunisme di kawasan Arab dan Timur Tengah bermula dari gerakan politik yang dilakukan oleh para mahasiswa dan buruh Turki di Jerman yang ikut bergabung dalam aksi protes yang dipelopori oleh Partai Komunis Jerman pada tahun 1919. Sebagian mereka kemudian mendirikan Partai Petani dan Buruh Turki. Gerakan komunisme di Jerman juga berhasil memikat Husain al-Rahhal yang dijuluki sebagai tokoh Marxist pertama Irak. Di Mesir, "trio" Yahudi-Muslim-Kristen Koptik (Joseph Rosenthal, Mahmud Husni al-Urabi, dan Anton Marun) mendirikan Partai Sosialis Mesir pada tahun 1921. Mahmud Husni al-Urabi adalah alumnus Moscow, Soviet, yang kemudian menyulap Partai Sosialis menjadi Partai Komunis di Mesir. Sementara itu di Palestina, Radwan al-Hilu yang juga "didikan Moscow" adalah tokoh di balik gerakan "Arabisasi" Partai Komunis Palestina. Ia menjadi tokoh sentral PKP (Partai Komunis Palestina) karena mendapat restu dari pimpinan Comintern, organisasi internasional partai-partai komunis untuk megarabkan PKP yang sebelumnya dikuasai Yahudi. Revolusi Arab dari tahun 1936 sampai 1939 menyebabkan Partai Komunis Palestina pecah menjadi sejumlah kelompok / organisasi independen seperti National Liberation League yang didirikan oleh Bulus Farah. Di Libanon dan Suriah, pendirian Partai Komunis dipelopori oleh Fu'ad Shamali dan Yusuf Yazbak. Di Iran, pendirian Partai Komunis dipelopori oleh para tokoh Muslim dan gerilyawan Jangali. Mereka sempat mendirikan Republik Iran Sosialis Soviet di Gilan. Sementara itu di Irak, pentolan Partai Komunis-nya adalah Salman Yusuf Salman. Bergabungnya para tokoh, pemikir, dan aktivis Islam, Kristen, dan Yahudi dalam komunisme di Arab dan Timur Tengah menunjukkan bahwa komunisme memang tidak ada hubungannya dengan ateisme seperti sudah berulang kali saya tegaskan karena keduanya memang sebuah konsep, filosofi, dan ideologi yang berbeda. Jadi, kalau masih ada yang menyamakan antara komunisme dan ateisme, mereka betul-betul mengalami "gagal permanen" dalam memahami komunisme dan ateisme (bersambung). ------------------------------
Up